Upaya Pelestarian dan Pendayagunaan Benda Cagar Budaya dan Situs Arkeologi di Kabupaten dan Kota Serang

Anda masih ingat dengan hingar bingar penolakan warga kota atas rencana penghancuran bangunan Kodim menjadi mall di jantung Kota Serang pada beberapa tahun lalu? penolakan dengan berbagai cara yang tidak pernah diindahkan pemerintah atau oleh siapapun yang memiliki kewenangan untuk mengatakan "tidak" atas perencanaan pembangunan mall di atas lahan bekas bangunan Kodim tersebut pada saat itu. Semua seperti diam, membungkam sementara pembangunan terus berjalan sejengkal demi sejengkal dan kini telah menjadi salah satu tempat belanja yang paling ramai di Kota Serang, merepotkan pengguna jalan karena harus memutari alun-alun hanya bila ingin menikmati suasana malam, sambil bersantai di atas tempat duduk di sudut alun-alun.
Alasan atau landasan Pemerintah Kabupaten Serang untuk tidak bisa berkata tidak atas rencana pembangunan mall di lahan bekas bangunan Kodim tersebut, ternyata "hanya" karena lahan tersebut milik pribadi (private property) dan pemilik lahan bersedia memberikan kompensasi untuk membangun Kodim yang baru. Untuk satu pihak masalah selesai karena adanya kesepakatan-kesepakatan yang memungkinkan perubahan itu dilakukan, tetapi disisi lain pembangunan tersebut telah memupus, menghilangkan dan memberangus semua nilai sejarah yang pernah ada dan tercatat pada bangunan tersebut, yang bisa jadi melukai para pelaku sejarah pada masa itu yang merasa perjuangannya mengibarkan Sang Merah Putih di tlatah ini tidak dihargai, justru oleh bangsanya sendiri setelah mereka mewariskan kemerdekaan.
Bahkan pengusaha yang pernah berjanji kepada Pemerintah Kabupaten Serang, untuk membangun replika bangunan Kodim di puncak mall yang akan difungsikan sebagai fasilitas publik (tempat pertemuan, pesta dan lain sebagainya) juga tak kunjung dipenuhi, atau jangan-jangan pemerintah sendiri lupa dan tak lagi menganggap penting janji itu, karena sudah tidak ada lagi yang meributkan dan mempersoalkan keberadaan mall tersebut.
Dari contoh kasus tersebut di atas, mana sebenarnya pilihan yang harus kita sepakati bersama-sama, meluluh lantakan BCB untuk kepentingan pembangunan atau mempertahankan BCB dengan mengabaikan kepentingan ekonomi. Dua hal yang kerap kita pertentangkan tanpa pernah dicoba untuk mencari jalan keluar dimana dua kepentingan tersebut dapat dijalankan secara bersama-sama.
Untuk kasus Gedung Kodim, pilihan membangun replika di atas mall barangkali harus menjadi pilihan, ketika pemerintah dan/atau masyarakat tidak lagi memiliki pilihan untuk mencari solusi agar gedung Kodim tetap ada. Namun pilihan itu tidak perlu lagi menjadi pilihan pada BCB yang masih tersisa dan tentu bukan pilihan yang bijaksana bila itu diberlakukan pada Kaibon, Surosoan, Banten Girang, Bangunan Polres, Korem, Gedung 45, Tirtayasa dan lain sebagainya. Harus ada langkah-langkah kongkrit yang melibatkan tidak saja pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dan peran dari masyarakat. Harus ada exit strategy dengan pertimbangan multiaspek, agar mampu menselaraskan berbagai kepentingan yang ada dan para pihak yang terlibat harus mampu menyusun prioritas-prioritas kepentingan, dengan tentu mengedepankan kepentingan pelestarian BCB.
Issu pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) dan situs arkeologi adalah issu yang belum lagi terlalu lama muncul dalam paradigma pembangunan di negeri ini, meskipun eksploirasi tentang hal tersebut sudah dilakukan lama oleh para ahli dan telah menghasilkan beberapa situs yang melambungkan nama Indonesia, sebagai salah satu negeri yang kaya dengan peninggalan sejarah di dunia, serta beberapa diantaranya pernah menjadi salah satu keajaiban dunia dan diakui sebagai warisan kekayaan dunia (the world herritage).
Atas dukungan beberapa lembaga internasional, pemerintah kita berhasil menata dan mendayagunakan peninggalan-peninggalan sejarah tersebut, yang tidak saja menjadi tempat pembelajaran anak bangsa dalam mempelajari dan mengagumi kebesaran generasi dari masa lalu, tetapi juga mampu menggerakkan roda perekonomian kawasan di sekitar lokasi situs-situs tersebut. Borobudur, Prambanan dan Kraton "Ngayogyakerto Hadiningrat" adalah contoh-contoh yang tak terbantahkan dari upaya konservasi dan pendayagunaan BCB yang dilakukan secara seimbang, antara kepentingan mengkonservasi dengan kepentingan pendayagunaan itu sendiri.
Terkadang kita terperangkap dan asyik dengan perseteruan diantara kita sendiri, sehingga kita lupa dengan tujuan berseteru itu dan ketika kita sadar semua menjadi kasip karena Gedung Kodim telah berganti mall, kenapa kita tidak segera menyusun rencana-rencana strategis secara bersama-sama untuk melakukan moratorium eksploitasi BCB dengan perubahan secuil sekalipun.
Para ahli, pakar, para datuk sejarah dan arkelog atau apapun gelarnya segera turun dari cerana perak yang kaku itu, tidak melulu mengadu hypotesa setiap kali selesai melakukan eksplorasi, mengadu kesaktian lalu tenggelam dalam kubangan cercaan dan makian sesama, tetapi segera memberikan pencerahan kepada para kawula, memberikan jastifikasi atas semua bangunan, patilasan, situs atau apapun istilahnya yang masuk dalam klasifikasi BCB dan harus dilestarikan. Biar kami yang awam tentang hal itu, tidak melulu terjebak dalam perdebatan semua yang tidak ada habis-habisnya. Sementara BCB yang diributkan telah runtuh dan musnah, satu demi satu... entah karena umur dan "wayah"nya, entah karena memang diruntuh dan musnahkan untuk kepentingan tertentu.
Dan kabupaten dan kota Serang memiliki lebih dari seratus BCB dan situs arkelogi, menunggu nasib seperti Gedung Kodim atau hancur dengan sendirinya atau menunggu belaian Pemerintah dan Masyarakatnya merawat, memelihara, melindungi dari sengatan matahari dan pikiran-pikiran jail yang mendorong perubahan wujud kota dengan tanpa mempertimbangkan pelestarian BCB, seperti ide Muhammad SAW menyelesaikan konflik kepala suku ketika akan membawa batu Ka'bah... BISAKAH KITA? (suwung)

No comments:

Pages