Berbagi Pengalaman Pengelolaan Jasa Lingkungan Dengan Para Pihak di Kabupaten Pandeglang

Kabupaten Pandeglang terletak di wilayah dataran tinggi dan menjadi menara air untuk sebagian besar wilayah Utara Propinsi Banten, sisa - sisa hutan yang berada di tiga gunung, Aseupan, Karang dan Pulosari (Akarsari) menjadikan kawasan tersebut menjadi kawasan penting untuk konservasi air. Memiliki kawasan seluas 369.308 Ha atau ± 23% dari luas Propinsi Banten, dengan jumlah penduduk 1.100.911 jiwa dan rata – rata kepadatan penduduk mencapai 2.776 jiwa/Ha, sementara laju pertumbuhan penduduknya mencapai 1,71%. Sungai – sungai yang berhulu di tiga gunung tersebut, mengalir dan melintasi wilayah di Kabupaten Serang, Lebak, Tangerang dan Cilegon serta menjadi sumber air baku untuk wilayah – wilayah tersebut. Sementara di Kabupaten Pandeglang sendiri, pemanfaatan air disamping untuk kepentingan irigasi, juga digunakan sebagai sumber air baku untuk PDAM dan perusahaan – perusahaan yang memproduksi air minum dalam kemasan.
Pentingnya Pandeglang sebagai kawasan konservasi air, sangat disadari oleh Pemerintah Propinsi Banten dengan ditetapkannya kawasan Akarsari Pandeglang sebagai kawasan lindung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Banten, demikian pula halnya dengan Kementerian Lingkungan Hidup yang membuat inisiasi kesepakatan tiga kepala daerah, yaitu; Serang, Pandeglang dan Cilegon dalam pengelolaan kawasan Akarsari. Meski yang terakhir ini, tidak atau belum terdengar kabar beritanya tentang kelanjutan dari kesepakatan tiga kepala daerah tersebut, dalam rencana aksi yang lebih kongkrit untuk mewujudkan upaya rehabilitasi dan pelestarian kawasan Akarsari.
Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) juga melihat kepentingan yang sama, dalam kerangka menjaga keseimbangan hydroorologis DAS Cidanau, sebagai bagian dari upaya untuk menjaga keseimbangan ekologi, sehingga ancaman terhadap eksistensi Cagar Alam Rawa Danau dan keberlanjutan ketersediaan air di DAS Cidanau terus dapat dilakukan. Hal tersebut dipandang penting oleh FKDC, mengingat Cagar Alam Rawa Danau merupakan situs konservasi endemis dalam bentuk rawa pegunungan satu – satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa, sementara air yang ditampung di dalamnya menjadi satu – satunya sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air baku masyarakat dan industri Kota Cilegon, salah satu kawasan industri penting tidak saja untuk Propinsi Banten tetapi juga nasional.
Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa upaya telah dilakukan oleh FKDC untuk mengajak pemerintah dan masyarakat Kabupaten Pandeglang dalam mewujudkan pengelolaan DAS Cidanau secara terintegrasi (integrated management) dengan didasarkan pada konsep one river, one plan dan one management. Termasuk hal yang terakhir dilakukan adalah mensosialisasikan hubungan hulu hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, sebuah konsep yang saat ini sedang dibangun dan dikembangkan di DAS Cidanau.
Dari sosialisasi hubungan hulu hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang telah dilakukan, hampir seluruh audience sepakat bahwa konsep tersebut adalah konsep yang dianggap dapat membangun jalinan interaksi yang mengikat antara produsen (masyarakat) jasa lingkungan (seller) di hulu dengan konsumen jasa lingkungan (buyer) di hilir, untuk mendorong masyarakat di hulu tidak lagi tergantung pada hasil kayu dari lahan milik mereka tanpa harus kehilangan penghasilan dan mendorong masyarakat di hilir mulai menghargai jasa lingkungan yang telah dimanfaatkannya.
Kendala yang kemudian muncul ketika konsep tersebut akan dicoba untuk diimplementasikan, adalah munculnya pengalaman – pengalaman buruk masa lalu ketika ada keinginan pengguna jasa lingkungan di wilayah Pandeglang untuk memberikan konstribusi (membayar) adalah ketidak siapan lembaga pemerintah dalam melakukan pengelolaan dana tersebut, karena hampir semua lembaga yang terlibat merasa berhak melakukan pengelolaan dan mereka tidak pernah membangun kesepakatan untuk lembaga pengelola, sehingga akhirnya willingness to pay dari pengguna tidak pernah direalisasikan sampai dengan saat ini.
Disisi lain konsep tersebut belum dipahami secara baik oleh masyarakat dan aparat pemerintah Kabupaten Pandeglang, sehingga beberapa asumsi tentang tata cara dan mekanisme pembayaran kepada seller masih dicampur adukan dengan paradigma lama dalam pelaksanaan proyek – proyek pemerintah. Masih diperlukan upaya untuk membangun pemahaman dan pengetahuan, tentang konsep hubungan hulu hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang lebih intens kepada masyarakat dan aparat pemerintah Kabupaten Pandeglang, sebelum konsep diimplementasikan.
Antara Regulasi dengan Voluntari
Hal lain yang dilakukan oleh FKDC dalam memasyarakatkan konsep hubungan hulu hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Propinsi Banten, disamping secara intens terus menggali potensial buyer dari jasa lingkungan, adalah dengan meminta dukungan politis dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Banten, khususnya dari Komisi B dan D komisi yang membidangi persoalan kehutanan dan lingkungan hidup, agar pemerintah juga mulai membayar jasa lingkungan yang disisihkan dari penerimaan pemerintah atas pemanfaatan sumber daya alam dari DAS Cidanau.
Dari diskusi yang dikembangkan, reaksi yang muncul dari anggota – anggota dewan yang terhormat lagi – lagi tidak pada substansi konsep yang ditawarkan, namun lebih pada pendekatan instans dengan membuat proyek (project approach) dari persoalan yang ada di DAS Cidanau dari pada menelaah konsep secara cermat sebagai bagian dari upaya penyelesaian DAS secara berkelanjutan dengan paradigma yang sangat berbeda dengan yang biasa dilakukan. Atau cenderung untuk membuat peraturan daerah (Perda) tentang jasa lingkungan untuk memaksa seluruh buyer melakukan pembayaran, tanpa mempertimbangkan dampak pada beban buyer yang ujung – ujungnya akan mempengaruhi harga jual produk dan daya beli masyarakat dan industri, akhir dari diskusi dengan para anggota dewan tersebut disepakati untuk melakukan kajian awal tentang pembayaran jasa lingkungan, sebelum menentapkan pemerintah membayar jasa lingkungan.
Dalam kasus pembayaran jasa lingkungan regulasi yang dibuat dan ditetapkan, belum tentu menjadi alat efektif untuk membangun kesadaran buyer dalam membayar jasa lingkungan yang telah dimanfaatkannya, hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pembayaran jasa lingkungan akan menjadi biaya tambahan untuk buyer yang besar kemungkinan akan diperhitungkan dalam biaya produksi (production cost), yang pada akhirnya akan menaikkan harga pokok penjualan dari produk yang dihasilkan.
Berkaitan dengan hal tersebut perlu dipertimbangkan pula, insentif yang akan diterima oleh para buyer. Insentif tersebut dapat diberikan dalam banyak hal, mulai dari discount atas pajak atau fasilitas lain dari pemerintah yang memungkinkan buyer dapat menekan atau mengurangi biaya yang tidak berkaitan dengan proses produksi.
Atas dasar hal tersebut maka FKDC lebih mengedepankan prinsip – prinsip kesukarelaan (voluntary) dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan, seperti halnya yang sudah dilakukan oleh pt. Krakatau Tirta Industri (KTI) sebesar Rp. 175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) per tahun untuk kawasan seluas 50 (lima puluh) Ha, dengan masa perjanjian pembayaran jasa lingkungan selama 5 (lima) tahun. Selama proses pembangunan dan pengembangan model pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, FKDC menyepakati bahwa kurun waktu 5 (lima) tahun adalah masa pembelajaran para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau, untuk melihat keefektifan konsep dalam mengatasi degradasi lingkungan di DAS Cidanau, dengan pendekatan ekologi, sosial dan ekonomi.
Salah satu hal yang menjadikan regulasi kurang efektif dalam mengatur sebuah tatanan, adalah dalam prosesnya yang kurang dan/atau tidak melibatkan masyarakat. Sehingga rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat pada regulasi yang dibuat dan ditetapkan tidak terbangun, yang kemudian bisa jadi menyebabkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap regulasi tersebut menjadi rendah pula. Berbeda dengan kesukarelaan, bahwa kesadaran yang terbangun pada adanya hubungan yang kuat antara kualitas dan kuantitas lingkungan hidup DAS Cidanau dengan keberlanjutan usaha KTI, menjadi dasar KTI untuk membayar jasa lingkungan yang dimanfaatkannya.
Hal – hal itulah yang kemudian diharapkan juga dipahami dan didukung oleh para anggota dewan di tingkat Propinsi Banten, sehingga ketika pemerintah atau buyer lainya mulai melakukan pembayaran jasa lingkungan, maka pembayaran tersebut dapat terus dilaksanakan secara berkelanjutan.
Jadi dalam tahapan awal mana yang terbaik untuk dilakukan, menyusun regulasi terlebih dahulu baru kemudian memulai pembayaran jasa lingkungan atau mendorong kesadaran buyer untuk membayar jasa lingkungan secara sukarela baru kemudian menyusun dan menetapkan regulasi??
Dari Jasa Lingkungan Menjadi Kambing
Setelah setahun perjalanan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, saat ini pembayaran antara KTI dengan FKDC dan antara Tim Adhoc dengan kelompok tani sudah direalisasi masing – masing dua kali, dari tiga kali pembayaran untuk tahun pertama sesuai dengan pembayaran jasa lingkungan, sementara untuk bulan Desember ini diharapkan seluruh pembayaran masing – masing pihak untuk tahun pertama sudah dapat diselesaikan, proses dari realisasi pembayaran tersebut sudah dimulai.
Sampai dengan saat ini masyarakat, masih terus menjaga dan memelihara tanaman yang ada di atas lahan milik mereka yang masuk dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Upaya saling mengingatkan diantara mereka, untuk terus menjaga dan memelihara tanaman masing – masing, sampai dengan saat ini masih cukup efektif untuk mempertahankan tegakan tanaman di areal pembayaran jasa lingkungan.
Disisi lain hasil pembayaran jasa lingkungan yang di terima seller, disamping digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, keperluan pemeliharaan tanaman juga mulai disisihkan sebagai modal awal kegiatan ekonomi kelompok. Di Kelompok Tani Karya Muda di Desa Citaman Kecamatan Ciomas Serang, kegiatan ekonomi kelompok yang dipilih oleh anggota kelompok adalah beternak kambing, mengingat kondisi alam di kawasan tersebut dianggap cocok untuk kegiatan ekonomi tersebut.
Pada tahap pertama yang disisihkan dari realisasi pembayaran jasa lingkungan yang diterima kelompok pada tahap ke 2 (dua), telah dibelikan 5 (lima) ekor kambing, jumlah yang sama akan disisihkan dari realisasi pembayaran ke 3 (tiga). Pemeliharaan dan perawatan kambing tersebut dilakukan oleh orang yang ditunjuk kelompok, sementara itu kelompok sedang mengupayakan kegiatan ekonomi lain, dengan didasarkan pada sumber daya alam yang ada untuk memperluas kegiatan ekonomi kelompok.Diharapkan kegiatan ekonomi kelompok ini dapat terus berkembang, sehingga mampu menjadi kegiatan usaha baru dan alat anggota kelompok untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraannya, tanpa harus lagi bergantung pada manfaat dan fungsi hutan terutama dalam bentuk kayu (orange, 06 November 2005).

No comments:

Pages