Implementasi Hubungan Hulu – Hilir Melalui Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Di Daerah Aliran Sungai Cidanau – Banten


photo by : KTI

Oleh: np. RAHADIAN – Rekonvasi Bhumi, Serang Banten
Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau merupakan salah satu DAS penting di wilayah Propinsi Banten, secara geografis DAS Cidanau terletak di antara 06º 07’ 30’’ – 06º 18’ 00’’ LS dan 105º 49’ 00’’ – 106º 04’ 00’’ BT. DAS Cidanau mencakup kawasan seluas 22.620 Ha (Sumber: RTL DAS Cidanau), yang mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang seluas 999,29 Ha dan Kabupaten Serang seluas 21.620,71 Ha.
Tata guna lahan di DAS Cidanau, adalah sebagai berikut:
1.      Hutan belukar : 1.539,00 Ha
2.      Rawa : 1.935,80 Ha
3.      Sawah : 6.786,30 Ha
4.      Semak : 5.982,40 Ha
5.      Kebun campuran : 3.471,10 Ha
6.      Ladang : 1.925,50 Ha
7.      Permukiman : 396,80 Ha
Sumber: Master Plan Pengembangan dan Konservasi DAS Cidanau, Bappeda Banten 2002.
Permasalahan utama di DAS Cidanau, antara lain:
1.      Tingkat erosi yang mencapai 71.034,40 ton/tahun dan nilai sedimentasi yang mencapai 75,68 cm/tahun;
2.      Penebangan pohon di kawasan Perhutani (illegal loging) dan di kawasan hutan rakyat di upstream mempengaruhi eksistensi Cagar Alam Rawa Danau yang juga berfungsi sebagai reservoir Sungai Cidanau;
3.      Ketersediaan air menunjukkan kecenderungan terus menurun, karena fluktuasi debit minimal dan maksimal sebesar 15 s.d 32 kali;
4.      Tumbuh suburnya gulma akibat penggunaan pupuk kimia oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Rawa Danau;
5.      Perambahan kawasan Cagar alam Rawa Danau, seluas ± 849 Ha oleh 1.140 kepala keluarga untuk lahan budidaya;
6.      Tingkat kejenuhan lahan yang mengakibatkan menurunnya infiltrasi dan meningkatnya run off.
Lokakarya Nasional “Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan” 14-15 Februari 2005
Sementara Sungai Cidanau yang berhulu di kawasan Cagar Alam Rawa Danau, merupakan sungai utama DAS Cidanau dan menjadi aliran air serta reservoir sungai – sungai dari kawasan 10 (sepuluh) sub DAS Cidanau. Memiliki debit rata – rata untuk 5 (lima) tahun terakhir antara 8.000 – 10.000 liter/detik, merupakan sumber  air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri di Kota Cilegon dengan
jumlah ± 120 perusahaan dengan total investasi mencapai US $ 1,936,643,291 (Sumber : Dinas Perdagangan dan Industri Kota Cilegon, 2003), yang diproyeksikan akan mencapai 1.690 liter/detik pada tahun 2006. Akan tetapi akibat berbagai permasalahan yang terjadi di DAS Cidanau, kuantitas dan kualitas air dari Sungai Cidanau terus mengalami penurunan secara kuantitas maupun kualitas, bahkan pada tahun 1997
debit rata – rata Sungai Cidanau hanya sebesar 1.700 liter per detik.
Disamping sumber daya air, didalam kawasan DAS Cidanau terdapat kawasan Cagar Alam Rawa Danau, yang penetapannya didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Jenderal Belanda, Governement Bisluit (GB) Nomor 60 Staatblad 683, tanggal 16 November 1921 dengan luas 2.500 Ha. Suatu kawasan yang memiliki potensi
keanekaragaman hayati endemis terutama untuk ekosistem rawa, karena Rawa Danau merupakan kawasan rawa pegunungan satu – satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa.
Pengelolaan Terpadu DAS

Peranan penting DAS Cidanau dalam mendukung pembangunan industri di Kota Cilegon dan eksistensi Cagar Alam Rawa Danau, menjadi dasar Lembaga Swadaya Masyarakat REKONVASI BHUMI melakukan berbagai upaya pelestarian dan mendorong seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau, untuk mulai membangun kesamaan visi dan misi dalam melakukan pengelolaan di DAS Cidanau secara terintegrasi (integrated watershed management) dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (sustainable development), didasarkan pada konsep one river, one plan dan one management.
Upaya tersebut dimulai dengan kegiatan Diskusi Terbuka pada tanggal 13 Desember 1998, yang menghasilkan DELAPAN BUTIR KESEPAKATAN BERSAMA (Joint Communique) yang ditanda – tangani bersama oleh; UG. Kosasih mewakili DPRD Kabupaten Serang, Ir. H. Setia Hidayat mewakili Pemerintah Kabupaten Serang, Adang Sutami mewakili Pemerintah Pusat, H. Duddy Remy mewakili masyarakat peserta diskusi, Ir. Rohadji Trie mewakili lembaga swadaya masyarakat dan Ir. E. Tomasowa mewakili pt. Krakatau Tirta Industri, sebagai berikut:
1.      Rawa Danau penting untuk diselamatkan;
2.      Penanganan catchment area merupakan prioritas utama dalam upaya penanganan Rawa Danau;
3.      Pendidikan dan pelatihan masyarakat di sekitar Rawa Danau (catchment area) dilakukan secara benar dan menjadi tanggung jawab bersama;
4.      Ada tindak lanjut konkrit dari kesepakatan bersama ini;
5.      Rawa Danau tetap difungsikan sebagai cagar alam;
6.      Harus ada sosialisasi kepada masyarakat;
7.      Meminta perhatian dan kehati – hatian semua pihak terhadap upaya upaya penambangan yang akan merusak fungsi cagar alam dan catchment area;
8.      Siapapun yang melanggar kesepaktan bersama ini, harus dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Upaya tersebut dilanjutkan dengan mengadakan Lokakarya DAS Cidanau, pada tanggal 09 – 10 Agustus 2000, dengan mulai melibatkan instansi pemerintah dari Propinsi Banten yang baru terbentuk dan Institut Pertanian Bogor, disamping stakeholder yang lebih luas dari Kabupaten Pandeglang, Serang dan Kota Cilegon.
Lokakarya tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi penting, yang dijadikan landasan dalam penyusunan rencana aksi, untuk mewujudkan integrated management berdasarkan konsep one river, one plan dan one management, rekomendasi tersebut adalah:
1.      Perlu adanya kesepakatan antara pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota dan stakeholder lainnya tentang kebijakan pengelolaan DAS Cidanau;
2.      Perlu adanya peraturan daerah tentang kebijakan pengelolaan DAS Cidanau, di tingkat propinsi dan kabupaten/kota;
3.      Perlu adanya tim koordinasi untuk mengelola DAS Cidanau secara terpadu yang didukung oleh seluruh stakeholder;
4.      Perlu adanya master plan pengelolaan DAS Cidanau yang terpadu dan berkelanjutan dari kawasan hulu sampai dengan hilir;
5.      Perlu dirumuskan mekanisme pengelolaan DAS Cidanau sesuai dengan peraturan daerah, master plan dan kesepakatan – kesepakatan antar stakeholder,
6.      Perlu dibentuk forum komunikasi bersama DAS Cidanau, dengan tugas dan fungsi memberikan masukan dan memantau pengelolaan DAS Cidanau.
7.      Dari rekomendasi Tim Perumus Lokakarya, maka pembentukan forum komunikasi bersama DAS Cidanau dipandang sangat perlu untuk segera dibentuk, sebagai salah satu tindak lanjut pelaksanaan lokakarya.
Realisasi dari tindak lanjut tersebut dilaksanakan oleh Bapedal Banten, melalui proyek ”optimalisasi pengelolaan Lingkungan Hidup, APBD tahun anggaran 2001”, yang akhirnya berhasil membentuk FORUM KOMUNIKASI DAS CIDANAU yang didasarkan pada konsep “one river, one plan and one management” dan didasarkan pada kesepakatan seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau, untuk melakukan pengelolaan dan secara terpadu dan berkelanjutan (integrated and sustainable development), serta dukungan dari Pemerintah Propinsi Banten melalui SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR BANTEN Nomor: 124.3/Kep.64 – Huk/02 tanggal 24 Mei 2002, tentang PEMBENTUKAN FORUM KOMUNIKASI DAS CIDANAU.
Pembayaran jasa lingkungan

Proses pembangunan dan pengembangan model hubungan hulu – hilir di DAS Cidanau melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan, dimulai sejak sosialisasi tentang Pembayaran Jasa Lingkungan (environment services payment) oleh GTZ – smcp, sosialisasi dan penjajagan implementasi konsep dalam model di DAS Cidanau juga dilakukan oleh lembaga – lembaga lain, seperti; World Agroforesty Centre dengan program RUPES, BTL – BPPT dan terakhir LP3ES – IIED yang kemudian mendukung implementasi konsep tersebut di dua lokasi model di Cidanau, yaitu Desa Citaman Kecamatan Ciomas dan Desa Cibojong Kecamatan Padarincang Kabupaten Serang – Banten.
Model hubungan hulu – hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dibangun dan dikembangkan di DAS Cidanau merupakan hubungan hulu hilir yang dibangun dan dikembangan secara tidak langsung (indirect payment), hal tersebut dilakukan karena PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) sebagai buyer tidak bersedia untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan secara langsung kepada seller karena berbagai alasan dan pertimbangan, serta meminta FKDC sebagai penghubung (intermediary) yang memfasilitasi kepentingan KTI sebagai buyer dan masyarakat hulu sebagai seller atau sebagai provider jasa lingkungan di DAS Cidanau.
Proses negoisasi antara FKDC dengan KTI untuk pembayaran jasa lingkungan, menghasilkan beberapa hal penting yang dituangkan dalam Naskah Kesepahaman yang Lokakarya Nasional “Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan” ditandatangani bersama oleh Gubernur Banten selaku Ketua Dewan Daerah FKDC dengan Direktur Utama KTI dan Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan yang ditandatangani bersama oleh Ketua Pelaksana Harian FKDC dengan Direktur Utama KTI, yang memuat hal – hal sebagai berikut :
1.      KTI bersedia secara sukarela (voluntary agreement) membayar jasa lingkungan dari DAS Cidanau sebesar Rp. 3.500.000,- (tiga juta lima ratus rupiah) per hektar per tahun dengan luas hutan yang dibayar seluas 50 (lima puluh) hektar atau sebesar Rp. 175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah), jumlah tersebut akan dibayar KTI pada tahun pertama dan kedua;
2.      Naskah Kesepahaman dan Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan antara FKDC dengan KTI berlaku selama 5 (lima) tahun atau sampai dengan tahun 2009;
3.      Jumlah pembayaran jasa lingkungan KTI untuk tahun ke 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) didasarkan pada hasil negoisasi antara FKDC dengan KTI (renegotiation);
Dalam hubungan hulu – hilir dengan model pembayaran jasa lingkungan secara tidak langsung tersebut, keberhasilan pembangunan dan pengembangan serta keberlanjutan implementasi konsep hubungan hulu – hilir sangat ditentukan oleh peran FKDC dalam membangun dan mengembangkan penerimaan pembayaran jasa lingkungan atas jasa lingkungan yang dimanfaatkan buyer untuk kemudian dilakukan pembayaran jasa
lingkungan kepada seller sebagai produsen jasa lingkungan di DAS Cidanau, atas upaya – upaya yang telah dilakukan seller dalam pembangunan hutan lestari di DAS Cidanau.
Upaya FKDC dalam membangun dan mengembangkan penerimaan pembayaran jasa lingkungan menjadi penting, karena perluasan model pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dan keberlanjutannya, sangat ditentukan oleh peran tersebut. Sehingga pembentukan Lembaga Pengelola Jasa Lingkungan dan mekanisme yang dibangun untuk merealisasikan transaksi pembayaran dan aturan – aturan yang mendukung terbangunnya akuntabilitas, transparansi dan dengan kredibilitas yang dapat dipertanggung jawabkan dari pengelolanya, menjadi kunci yang dapat menumbuhkan kepercayaan buyer, untuk terlibat dalam berbagai upaya konservasi di DAS Cidanau dengan menggunakan mekanisme pembayaran jasa lingkungan.
Dalam implementasi hubungan hulu – hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, FKDC kemudian membentuk Tim Ad Hoc dengan didasarkan pada Surat Keputusan Ketua Pelaksana Harian FKDC, dengan tugas utamanya adalah mengelola dana pembayaran jasa lingkungan dan membentuk Lembaga Pengelola Jasa Lingkungan (LPJL) Cidanau.
Dalam pengelolaan yang dilakukan oleh Tim Ad Hoc, realisasi pembayaran jasa lingkungan dari buyer didasarkan pada persyaratan – persyaratan yang diminta oleh buyer, yang antara lain berkaitan dengan hak dan kewajiban buyer, jadwal realisasi pembayaran, mekanisme pengawasan oleh dilakukan buyer dan hal – hal lain yang berkenaan dengan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan yang dilakukan oleh Tim Ad Hoc.
Sementara itu pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan Tim Ad Hoc kepada masyarakat yang menjadi seller atau provider jasa lingkungan di DAS Cidanau, didasarkan pada kesepakatan – kesepakatan yang berkaitan dengan jumlah pembayaran yang akan diterima seller, jadwal penerimaan pembayaran dan persyaratan – persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh seller berkaitan dengan pembayaran jasa lingkungan yang akan diterimanya. Inti dari kesepakatan tersebut, antara lain:
1.      Pembayaran jasa lingkungan yang akan diterima seller sebesar Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) per hektar per tahun;
2.      Perjanjian pembayaran jasa lingkungan berlaku selama 5 (lima) tahun, terhitung sejak tanggal penanganan;
3.       Pembayaran jasa lingkungan akan diterima seller dalam 3 (tiga) kali pembayaran dengan prosentase pembayaran, sebagai berikut :
1)      30% (tiga puluh persen)akan diterima seller pada saat penandatangan perjanjian pembayaran jasa lingkungan;
2)      B. 30% (tiga puluh persen)akan diterima seller setelah 6 (enam) bulan terhitung tanggal penandatangan perjanjian pembayaran jasa lingkungan;
3)      40% (empat puluh persen)akan diterima seller setelah 12 (dua belas) bulan terhitung tanggal penandatangan perjanjian pembayaran jasa lingkungan;
4)      Jumlah tanaman, baik untuk jenis buah – buahan maupun kayu – kayuan tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang pada akhir tahun ke lima (selama masa kontrak);
Sedangkan Focus Discussion Group (FGD) ditingkat FKDC, menghasilkan beberapa hal berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, yang dituangkan dalam Surat Keputusan Pelaksana Harian FKDC, tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Anggaran Pembayaran Jasa Lingkungan, adalah sebagai berikut :
1.      Biaya operasional Tim Adhoc per tahun, dialokasikan maksimum sebesar 15 % (lima belas persen) dari hasil pembayaran jasa lingkungan yang dikelolanya selama 1 (satu) tahun, dengan perincian pemanfaatan, sebagai berikut:
Ø       50 % untuk biaya perjalanan dinas;
Ø       30 % untuk biaya honorarium Tim Ad Hoc;
Ø       10 % untuk biaya evaluasi, dokumentasi dan report;
Ø       5 % untuk biaya rapat-rapat;
Ø       5 % untuk biaya alat tulis kantor.
2.      Pengendalian, pengawasan dan pemeriksaan seluruh dokumen yang berkaitan dengan penerimaan dan pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dapat dilakukan oleh:
Ø       Pelaksana Harian atau Lembaga dan/atau profesional yang ditunjuk oleh Pelaksana Harian FKDC;
Ø       Lembaga atau profesional yang ditunjuk oleh pembayar jasa lingkungan (buyers);
Ø       Lembaga atau profesional yang ditunjuk oleh produsen jasa lingkungan (seller);
Ø       Lembaga swadaya masyarakat yang menjadi anggota Forum Komunikasi DAS Cidanau atau Lembaga dan/atau profesional yang ditunjuk oleh lembaga swadaya masyarakat dimaksud.
Hal yang menjadi catatan penting dalam konteks pembayaran jasa lingkungan oleh Tim Ad Hoc kepada seller, meskipun proses penetapan jumlah pembayaran jasa lingkungan melalui proses negosiasi antara Tim Ad Hoc dengan seller, tetapi jumlah pembayaran yang disepakati belum didasarkan pada perhitungan – perhitungan mendasar berdasarkan formulasi matematis di atas, diperlukan penelitian lebih lanjut agar jumlah pembayaran jasa lingkungan yang diterima seller sama atau lebih dari opportunity cost yang harus dikeluarkan oleh seller, sehingga resiko kemungkinan seller kembali menebang pohon di atas lahan miliknya karena persoalan – persoalan ekonomi menjadi kecil.
Hal penting yang harus menjadi perspektif untuk menjaga keberlanjutan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, adalah kemampuan Tim Ad Hoc atau kemudian LPJL dalam membangun pasar jasa lingkungan dikalangan buyer DAS Cidanau. Hal tersebut merupakan modal dasar untuk menjaga keberlanjutan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang sedang dibangun dan dikembangkan, disisi lain pembangunan dan pengembangan kelembagaan pengelola jasa lingkungan DAS Cidanau yang sesuai
dengan tuntutan buyer maupun seller juga menjadi entry point penting dalam keberlanjutan dan pengembangan jasa lingkungan di DAS Cidanau.
Berkaitan dengan hal tersebut maka peran pemerintah dalam pembangunan dan pengembangan jasa lingkungan di DAS Cidanau menjadi teramat penting, keberanian pemerintah untuk merubah dan mengganti paradigma pembangunan yang selama ini dilakukan untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi lahan di Cidanau dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, tidak saja akan menjadi contoh pemanfaat
jasa lingkungan dari DAS Cidanau untuk membayar jasa lingkungan dari DAS Cidanau yang telah dimanfaatkannya baik secara langsung maupun tidak langsung, tetapi juga akan mendorong terbangunnya mekanisme pembangunan baru yang dapat dijadikan alternative dari konsep pembangunan yang sudah dan pernah ada, konsep pembangunan yang memberikan aksesbilitas lebih luas kepada masyarakat untu
menentukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayahnya dengan membangun keseimbangan antara kepentingan ekologi, social dan ekonomi.
Disisi lain pengembangan kelembagaan pengelola jasa lingkungan dengan akuntabilitas, transparency dan mekanisme yang jelas serta kegiatan reforestasi hasil dari pembayaran jasa lingkungan yang konkrit, tidak saja akan membangun kepercayaan buyer jasa lingkungan DAS Cidanau, tetapi akan menjadi perhatian masyarakat international dengan kemungkinan melakukan transaksi pembayaran untuk karbon (carbon trade), sesuai dengan semangat yang muncul dari konsep clean development mechanism (CDM).
Penutup

Hubungan hulu – hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan merupakan perspektif baru, dalam membangun keseimbangan ekonomi diantara hulu dan hilir melalui hubungan yang saling menguntungkan dari ketergantungan hilir terhadap kestabilan ekosistem di hulu DAS Cidanau.
Masyarakat di hulu DAS selama ini, selalu dibatasi oleh berbagai hal yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas lingkungan, terutama yang berkaitan dengan pelestarian tata air untuk tetap terjaganya kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat di hilir. Pengetahuan yang terbatas tentang optimalisasi dan pemanfaatan lahan, disertai dengan penguasaan lahan yang sangat terbatas dan pola serta jenis budidaya yang secara tradisional dikembangkan, mengakibatkan sebagian besar masyarakat di hulu terjebak dalam perangkap kemiskinan (poverty trap) yang pada akhirnya mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas yang berdampak pada turunnya kuantitas dan kualitas lingkungan di DAS Cidanau.
Dibangun dan dikembangkannya hubungan hulu – hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, memberikan harapan dan aksesbilitas kepada masyarakat di hulu untuk meningkatkan kemampuan ekonomi mereka. Hal tersebut menjadi mungkin untuk dicapai, apabila seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau menyadari arti penting DAS Cidanau dalam mendukung proses pembangunan di hilir dengan pusat kegiatan pembangunan di wilayah Kota Cilegon.
Disisi lain integrated watershd management yang dibangun dan dikembangkan Forum Komunikasi DAS Cidanau menjadi kekuatan tersendiri dalam upaya pembangunan dan pengembangan hubungan hulu – hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, karena kesamaan visi dan misi stakeholder dalam pengelolaan dan pemanfaatan menjadi modal utama untuk mencapai keseimbangan sosial dan ekonomi antara
masyarakat di hulu dan hilir, disamping adanya kepercayaan para pemanfaat jasa lingkungan dari DAS Cidanau kepada lembaga pengelola yang merupakan representasi stakeholder dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat dan kalangan swasta yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau.
Untuk itu diperlukan motivitas dan keinginan kuat dari seluruh stakeholder FKDC, untuk melakukan perubahan – perubahan mendasar dalam mekanisme pembangunan yang selama ini dilakukan yang secara nyata tidak dan/atau belum pernah berhasil mewujudkan masyarakat dan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dinamika pembangunan. Ketergantungan masyarakat di hulu pada bantuan pemerintah tidak pernah menjadi turun atau berkurang, tuntutan atas bantuan pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan mereka semakin lama semakin bertambah. Belum pernah muncul keinginan masyarakat untuk memulai memecahkan berbagai persoalan sosial ekonomi secara swadaya, swakarsa dengan didasarkan pada berbagai sumber daya yang mereka miliki.
Perubahan – perubahan yang dilakukan tidak saja muncul dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat di hulu dan di hilir yang terus mencoba membangun kesepakatan – kesepakatan yang saling menguntungkan dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam. Masyarakat di hulu sebagai provider jasa lingkungan dan masyarakat di hilir sebagai pemanfaat jasa lingkungan, dimana satu dan lainnya memiliki keterkaitan yang erat dalam menjaga keberlanjutan pembangunan, untuk kemudian menjadi wadah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata.

No comments:

Post a Comment

Pages